Kamis, 30 November 2023

Mengajarkan Anak melalui Perumpamaan

https://literasikitaindonesia.com/mengajarkan-anak-melalui-perumpamaan-_/ 




Happy Teacher Day

https://literasikitaindonesia.com/wp-conte
nt/uploads/2020/11/hari-guru.jpg
 

Peningkatan Akreditasi STIES Al Mujaddid

https://literasikitaindonesia.com/peningkatan-akreditasi-sembilan-kriteria/



Transformasi Pemimpin

  Transformasi pemimpin sebaiknya bersifat konsisten sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Surat Ash-shaff ayat 2-3 sebagai berikut :  Artinya : wahai orang- orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakanapa-apa yang tidak Kamu kerjakan.” ( Q.S ; 61: 2-3) 

Seiring dengan perkembangan era globalisasi bahwasanya berbagai masalah yang ditemukan maupun sehingga membutuhkan terobosan baru yang bersumberkan dari ide atau keaktifan dan kreatifitas seorang pemimpin. Pemimpin yang mampu memberikan perubahan secara positif. Lembaga yang berkualitas memiliki kepemimpinan secara transforasional. 

Kepemimpinan transformasional  memiliki penekanan dalam hal pernyataan visi dan misi yang jelas, penggunaan komunikasi secara efektif, serta perhatian terhadap permasalahan individu anggota organisasinya. Kepemimpinan transformasional sebagai media informasi yang seharusnya dapat ditransformasikan kepada guru, tenaga administrasi, peserta didik dan orang tua melalui sentuhan persuasif, psikologis dan bernuansa pendidikan. 

terima kasih, semoga bermanfaat 


Rabu, 30 Maret 2016

Tradisionalisme Islam dan Feminisme



PENDEKATAN JENDER DALAM STUDI ISLAM
(TRADISIONALISME ISLAM DAN FEMINISME karya: Nurul Agustina)
oleh: Sri Kadarsih  

A.      Pendahuluan
Istilah feminin bukanlah hal yang asing yang sering kita dengar, namun banyak yang masih memperdebatkan tentang kedudukan dan kesetaraan perempuan itu sendiri. Apakah selmanya perempuan harus selalu berada dibawah pinpinan kaum laki-laki atau bagaimna? Bagaimana jika perempuan menjadi seorang pemimpin? Dan banyak pertanyak-pertayaan lain yang bermunculan tentang perspektf perempuan tersebut. Adakah batasan-batasan tertentu bagi perempuan terhadap laki-laki.
Tulisan ini akan membahas tentang metode penafsiran-penafsiran tentang perempuan dalam Al-Qur’an yang akan dikemukakan oleh beberapa tokoh yang kritis terhadap apa-apa saja yang menjadi pembahasan bagi perempuan. Berbagai macam istilah feminine yang dikategorikan oleh banyak tokoh, seperti contoh feminis liberal, feminis liberal, dan sebagainya, namun dalam pembahasan ini membicarakan tentang feminine dalam perspektif islam tradisional. Persoalan tentang apa yang disebut dengan islam dalam gagasan tentang perempuan dan Gender masih sangat diperdebatkan.   
B.       Deskripsi
Kalangan feminis hampir secara keseluruhan beranggapan bahwa agama murupakan seksis. Artinya agama tersebut adalah agama dengan citra Tuhan yang laki-laki sebagai pemimpin atau superioritas baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sedangkan menurut Djohan Efendi adalah unsure utama dalam pembentukan kesadaran social dan determinan atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat. Dengan demikian superioritas laki-laki mendapat “pembenaran” dari agama. Ketidak adilan yang dianggap agama dlam pandangan kaum feminis adalah pangkal dari penindasan terhadap perempuan.
Gerakan feminism yang muncul pertama kali di Barat pada sekitar abad ke 21, telah beberapa kali mengalami pergeseran paradigma dari ideology sains, ke linguistic, dan terakhir adalah teologis. Maka sebagai konsekuensinya muncul pertanyaan-pertanyaan kritis semisal, “apakah agama secara tegas membedakan dan mengukuhkan streotipe peran laki-laki atas perempuan?” kritik feminism terhadap agama dimulai dari hal-hal yang nyata seperti kepatuhan mutlak perempuan terhadap laki-laki dan bentuk-bentuk kongkrit inferioritas atau subordinasi perempuan serta eksklusi permpuan dari ruanag publik. Permasalahan-permasalahan seperti demikian ditulis oleh beberapa tokoh yang membahas tentang perempua dan islam terurai sebagai berikut. 

1.      Pendekatan neo modernis: Anima Wadud Muhsin
Dalam penafsirannya Amina wadud memiliki penafsiran yang cukup jelas dibandingkan yang lainnya dalam hal metodologinya. Sebagaimana yang ia katakana bahwa tujuan membuat riset adalah agar interpretasi Al-Qur’an mempunyai makna dalam kehidupan perempuan modern. Ia membagi penafsiran tersebut menjadi tiga kategori:
a.      Tafsir Tradisional
Yakni menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat mufassirnya, hukum, nahwu-sharaf, sejarah, tasawuf, dan lain sebagainya. Metodologi yang digunakan bersifat atomistic. Artinya penafsiran dilakukan dengan mengupat ayat perayat secara berurutan. Tidak ada upaya  untuk mengelompokkan ayat-ayat sejenis dalam dalam pokok-pokok yang sistematis.
b.      Tafsir Reaktif
Tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi para pemikir modern terhadap sejumllah besar hambatan yang dialami wanita, yang dianggap berasal dari Al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan sering kali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis tapi tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan.
c.       Tafsir Holistic
Tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran mengaitkan dengan berbagai persoalan social, moral, ekonomi, dan politik yang ada di era modern ini.
Karena kehidupan pada masa dahulu ketika Rasulullah masih hidup sangat berbeda dengan masa sekarang yang berada pada siuasi dan kondisi yang berbeda. Maka menurut Amina bahwa dalam  memelihara relevansi Al-Qur’an dalam kehidupan manusia perlu adanya pembaharuan dan pengulangan penafsiran Al-Qur’an secara terus menerus. 
Secara ringkas mtode penafsiran Al-Qur’an yang digunakan oleh Amina ini melalui lima kategori analisis:
1.    Dalam konteksnya
2.    Dalam konteks pembahasan topic yang dalam Al-Qur’an
3.  Menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan dalam Al-Qur’an
4.  Berpegang teguh padaprinsip-prinsip Al-Qur'an
5.    Konteks Al-Qur’an sebagai pandangan hidup.
Amina menempatkan bentuk maskulin dan feminis dari bahasa sebagai bagian penting analisisnya. Menurutnya perspektif yang di miliki sebuah masyarakat mengenai jenis kelamin termasuk karakter dan peran-peran yang diartibutkan kepada pria dan wanita sangat dipengaruhi oleh konteks kultural yang dibentuk oleh bahasa.  

2.      Urgensi meninjau ulang tradisi Nabi: Fatima Mernissi
Sebelum mengkritisi hadits yang berkaitan, Mernissi membahas secara filosofi pandangan kaum muslimin saat ini tentang sejarah dan masa depan. Keberhasialan barat membangun peradaban dunia modern mnurutnya adalah suatu transformasi pandangan mereka mengenai waktu. Barat menguasai waktu dengan menetapkan masa depan sebagai orientasi mereka. Ada perbedaan antara masyarakat muslim dan barat. Orientasi masyarakat muslim adalah masa lalu sedangkan masa kini adalah penderita yang merenggut kebahagiaan. Hal demikian lah yang membuat umat muslim terjajah oleh barat. Akhirnya kaum muslim pun tersudutkan oleh barat.
Dari latar belakang yang demikian lah Mernissi mencoba untuk mengupas ketersudutan perempuan setelah wafatnya Rasulullah. Hal ini disebabkan karena adanya hadits-hadits palsu, dan berkaitan dengan pemilihan khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Merissi mengelompokkan para pemalsu hadits kedalam dua kelompok: Pertama, mereka yang sengaja menisbhkan kepada Nabi tentang hal-hal sebenarnya yang tidak pernah beliau ucapkan atau sampaikan. Ada dua hal yang mendasari in yakni keuntungan ekonomi dan idelogi. Kedua, mereka yang memalsukan rangkaian sanadnya. Misalnya ada hadits yang menurut kategori sanadnya sebenarnya lemah tapi diubah sedemikian rupa sehingga menjadi shahih.
Selanjutnya Mernissi menguraikan hadits-hadits tentang misoginistik (yang menunjukkak kebencian pada perempuan), yang terus diabaikan. Salah satu perawi yang menjadi sorotan tajam menurutnya adalah Abu Hurairoh. Mernissi secara panjang lebar menceritakan latar belakang kehidupan Abu Hurairoh yang menyebabkan sikapnya antipasti terhadap perempuan. Salah satunya adalah karena masayarakat islam awal yang masih menyandang bias-bias patriarkisme, Abu Hurairahjustru tidak mempunyai pekerjaan yang menunjukkan kejantanannya.  

3.      Pembaharuan hukum personal islam: Asghar Ali Engineer
Asghar Ali merupakan salah seorang pengkritik kaum muslimin yang menuurutnya mensakralkan syari’ah dengan menganggap bahwa syari’ah bersifat ilahiyah, dan karenanya tidak dapat diubah. Sedangkan pada kenyataannya banyak hal-hal yang tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman. Seperti institusi perbudakan, kesaksian perempuan, poligami, perceraian, dan sebagainya. Karena itu Asghar mengatakan bahwa hukum ilahiyah ini tidak lagi dapat dipertahankan. Muncullah dua pilihan apakah hrus megabaikan kitab suci dan menerapkan hukum secular atau membaca ulang dan menginterpretasikan agar sesuai dengan kondisi zaman sekarang?
Menurut pandangan Asghar pembentukan syariah itu secara evolutif dan memakan waktu berabad-abad. Menurut Asghar Ijtihad adalah unsure dinamis dalam islam yang memungkinkan adanya penafsiran dan penerapan yurispreudensi islam secara kreatif. Namun sayangnya pintu ijtihad tertutup mulai abad ke 12 M. Dengan demikian jelaslah bahwa syari’ah berkembang sebagai respon terhadap tantangan bagi masyarakat islam.
Berkaitan dengan soal perempuan Asghar menganggap meski Al-Qur’an memuliakan perempuan setara dengan laki-laki namun semangatnya ditundukkan oleh patriarkisme yang telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat, termasuk kaum muslimin. Asghar dalam penjelasannya mengatakan penafsiran tentang lelaki adalah pemimpin kaum perempuan dalam QS. An-Nisa (4):34

 ...........................................................................................................................................
Yang dianggap sebagai ayat terpenting dalam masalah kesetaraan dan ketidaksetaraan termasuk  ayat kontektual yang mencerminkan situasi masyarakat Arab pada waktu itu. Dan pekerjaan domestic dianggap sebagai kewajiban perempuan. Asghar mengatakan bahwa laki-laki adalah Qawwam berarti pemberi nafkah dalam keluarganya pendapat ini juga dikuatkan oleh Parvez dalam kontek dan ayat yang sama bahwa laki-laki adalah pemberi nafkah keluarga. Parvez menambahkan ayat ini sama sekali tidak mengisyaratkan seorang perempuan harus taat kepada suami karena hubungan suami istri merupakan persahabatan bukan persaingan da kekuasaan. Parvez  juga tidak membenarkan seorang laki-laki memukul istri apapun kesalahannya.
Penjelasan diatas menggambarkan tampaknya Asghar ingin mengtakan bahwa dalam khazanah tafsir khususnya yang berkenaan dengan perempuan sebenarnya ada pendapat-pendapat yang bersikap empati atau pro perempuan. Atas dasar empati inilah Asgharmencoba menunjukkan alternative tafsiran atas beberapa ayat al-Qur’an yang selama ini digunakan untk mengekalkan subordinasi perempuan, yakni berkaitan dengan masalah perkawianan, perceraian, hak waris, kesaksian dan hak ekonomi.

4.      Meninjau kembali warisan sejarah muslim: Mazhar ul-Haq Khan
Menurut Khan bahwa ada faktor penyebab dekadensi serta stagnasi masyarakat muslim adalah model lembaga keluarga dan kekerabatan yakni: purdah dan poligami. Purdah adalah suatu cara pengorganisasian kehidupan, aktivitas, dan fungsi social umat manusia atas dasar pemilihan “alami” dan dikotomi fungsi dan pern kedua jenis kelamin. System purdah membagi kehidupan social menjadi dua bagian bidang yang tidak saling berhubungan: rumah yang dikhususkan bagi perempuan dan ruang public yang merupakan kewenangan kaum laki-laki.
Perspektif sosiologi-historis, Khan secara panjang lebar menjelaskan bagaimana lembaga purdah dan poligami menghambat dan mencegah kaum muslimin dari capaian-capaian yang berarti. Empat dasar sistim purdah yang menjadi prinsip masyarakat adalah:
a.    Bahwa lelakilah yang mencari nafkah untuk keluarga untuk melakukan semua pekerjaan yang harus dilakukan untuk membangun peradaban dan kebudayaan.
b.    Tugas-tugas domestic yang bertujuan menjadi rumah tangga sebagai sebagai surge dunia adalah tanggung jawab perempuan. Pelatihan dan pendidikan, karena itu harus ditujukan untuk mendukung kedua hal tersebut.
c.    Karena kapasitas yang berbeda sementara orgaisasi keluarga tetap memerlukan pemimpin agar tidak tenggelam dalam anarki maka hanya pria yang mungkin menjabat sebagai pemimpin dlam keluarga.
d.   Menjamin dan menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang merusak atau mengacaukan system peradaban itu dengan pembaharuan yang tidak pada tempatnya.
Menurut Khan sebagian besar masyarakat muslim dewasa ini masih hidup dalam kondisi yang demikian. Dengan demikian Khan mengajak untuk menilai kembali budaya secara kritis warisan kebudayaan islam ini menemukan relevansinya.
Keempat pendapat yang dikemukakan pada tokoh diatas terdapat kesamaan yakni tentang komitmen mereka terhadap persoalan perempuan. Mereka menyadari adanya bias-bias patriarkisme dalam islam namun menolak anggapan bahwa islam adalah patriarkisme itu sendiri. Mereka menemukan inti ajaran yang berharga dalam islam yang membebaskan tadisi dari bias-bias tersebut. Hal demikian lah yang dilakukan oeh keempat penulis diatas yakni berupaya menemukan values cores dalam ajaran agama dan menjadikan sebagai landasan merekonstruksi tradisi agama. 

C.      Review
Amina Wadud memiliki nama panjang Amina Wadud Muhsin. Ia adalah salah seorang tokoh feminis Muslimah kontroversial yang lahir di Bethesda, Maryland Amerika Serikat pada 25 September 1952. Ayahnya adalah seorang penganut Methodist dan ibunya keturunan budak Berber, Arab, dan Afrika pada kurun ke-8 Masehi. Wadud memeluk Islam pada tahun 1972. Wadud janda dengan lima anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Yang laki-laki adalah Muhammad dan Khalilullah, dan yang perempuan adalah Hasna, Sahar, dan Ala (oleh Wadud mereka dianggap lebih dari anak yaitu saudara-saudara seiman).[1]
Salah satu asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikiran Wadud adalah bahwa al-Qurân merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki perempuan setara (equal). Oleh karenanya, perintah atau petunjuk Islam yang termuat dalam al-Qurân mestinya harus diinterpretasikan dalam konteks historis yang spesifik. Dengan kata lain, situasi sosio-historis-kultural atau tempat ketika ayat al-Qurân itu diturunkan harus diperhatikan mufassir ketika hendak menafsirkan al-Qurân. Tidak hanya itu, bahkan latar belakang yang melingkupi seorang mufassir juga perlu diperhatikan karena sangat mempengaruhi hasil penafsiran terhadap al-Qurân, dan itulah yang nantinya dielaborasi lebih lanjut oleh Wadud dalam model hermenetikanya, khususnya ketika berbicara mengenai text dan prior text.[2]
Karya Amina Wadud, merupakan bukti kegelisahan intelektualnya mengenai ketidakadilan di masyarakat. Maka ia mencoba melakukan rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al Qur’an agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan.
Dalam Umi sumbulah bentuk ketidakadilan melipui beberapa aspek yakni stereotype, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, beban ganda.[3]
1.     Streotipe adalah pelabelan negative pada perempuan, kendati lebih bernuansa mitos dari pada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia.
2.     Marjinalisasi terhadap kaum perempuan terjadi sebab multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal, bisa berupa banyak kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
3.     Subordinasi merupkan pelabelan negative terhadap perempuan akan berakibat pada tidak diakuinya potensi kaum perempuan, sehingga ia sulit mengakses posisi-posisi strategis dan sentral dalam komunikasinya, terutama yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dan keputusan. 
4.      Kekerasan (violence). Kekerasan terhadap perempuan ini merupakan konsekuensi logis dari stereotype terhadapnya. Perempuan adalah komunitas yang rentang dan potensial untuk berposisi sebagai korban dari kesalahan pencitraan terhadap kekerasan yang terjadi akibat bias gender dalam literature feminisme, seperti pemerkosaan, KDRT, kekerasan seksual, dan lain sebagainya. 
5.      Beban ganda. Anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin tetapi tidak cocok menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestic menjadi tanggung jawabnya, karena dikontruksi sebagai pekerjaan perempuan.  
Gender sebagai persoalan social budaya, lebih berbicara mengenai ketimpangan, yakni masalah ketimpangan antara hak dan kewajiban. Hal ini bisa menjadi persoaln karena adanya ketimpangan yang kadang-kadang berasal dari kategori superioritas (laki-laki) dan inferioritas (perepuan). Ketimpangan hak dan kewajiban dianggap menjadi persoalan karena merugikan pihak-pihak tertentu. Ketimpangan hak dan kewajiban berkaitan dengan permasalahan sosial, yang berupa bentuk-bentuk ketidakadilan yang harus dihilangkan dan diupayakan adanya equality (keadilan) dan eguity (kesetraan).[4]
Menurut Ziba Miss Hossein dalam tema penafsiran feminis terhadap syari’ah di Iran pasca Khumaini yang telah diterjemahkan oleh Purwanto membicarakan Isu mengenai wanita sekarang yang terpisah dari wacana islam modern. Dalam praktiknya Ia melibatkan penafsiran ulang teks-teks lama dalam mencari solusi atau lebih tepatnya alternative islam bagi suatu masalah yang sangat modern yang berkaitan dengan status wanita yang berubah, dan kebutuhan untuk mengakomodasi aspirasi mereka terhadap persamaan antara kesetaraan dan kesedrajatan hak serta untu menentukan dan mengendalikan partisipasi mereka yang terus meningkat dalam politik dunia muslim.[5]
Asal usul mereka berasal dari mereka yang beragam dan latar belakang budaya mereka yang berbeda, namun apa yang sama-sama dimiliki leh penafsiran-penafsira ulang adalah sikap menentang dan membela diri atau apologetik. Bersikap menentang karena agenda mereka adalah untuk menangkal arus perkembangan nilai-nilai gaya barat yang didukung oleh banyak Negara. Bersikap apologenik sebab mereka mencoba untuk menjelaskan bias-bias jender yang secara sembrono ditampilkan dengan merujuk kembali teks-eks syri’ah. Menurut Ziba Miss Hossein bahwa penafsiran ulang tentang feminis terhadap syari’ah adalah sesuatu yang mugkin dapat dilakukan bahkan ia tak rela ketika islam idak lagi menjadi bagian dari wacana oposional dalam politik nasional.       
Pendapat yang telah ditafsirkan oleh Amina wadud  juga di setujui oleh beberapa tokoh lain seperti apa yang diungkapkan oleh Ziba Miss Hossein tentang sumber pembahasan feminine  adalah berasal dari adanya perbedaan budaya yang ada. Disamping itu seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern mereka sama-sama berpendapat bahwa perlu adanya penafsiran ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan perempuan. Karena rujukan pada masa lalu tidak bisa diterapkan untuk pada zaman sekarang. Pengulangan penafsiran dalam koteks bukan merubah ayat-ayat Al-Qur’an namun tentang kapasitas pemahaman ayat sesuai dengan perkembangan.
Pendapat yang dikemukakan oleh Asghar juga hampir sama  dengan pendapat Ziba Miss Hossein bahwa penafsiran ulang tentang feminis terhadap syari’ah. Asghar mengatakan bahwa teori hukum syriah yang bersifat ilahiyah tidak dapat lagi dipertahankan. Artinya penfsiran hukum Syari’ah tentang perempuan berkembang sebagai respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat islam. Meskipun secara normtif Asghar menyetujui penafsiran ayat tentang lelaki adalah pemimpin kaum perempuan namun ia mencoba menafsirkan ayat-ayat lain tentang perempuan dan ada sikap empati dan pro terhadap perempuan. Jadi penafsirannya berdasar atas sikap empatinya terhadap kaum perempuan. 
Baumgardner dan Ricards mendefiniskan feminisme sebagai gerakan keadilan sosial untuk kesetaraan gender dan kebebasan manusia.[6]
a.    Penindasan terhadap perempuan
Hal yang paling sentral bagi banyak kaum feminis adalah ide bahwa laki-laki telah memanfaatkan posisi kekuasaan dan pengaruh mereka untuk menindas perempuan baik didalam maupun diluar rumah. Taylor dalam Ricard telah memberikan versi modifikasi untuk posisi ini pada saat mengatakan: “Jadi meskipun ada pengakuan bahwa laki-laki telah menjdi korban budaya yang seksis dan kekuatan pola-pola sosialisasinya, laki-lakilah yang masih tetap menentukan keseimbangan kekuasaan dan menerima bagian yang tidak proporsional dari reward dan provilage sosial”. Laki-laki ada didalam dan perempuan ada diluar. [7] Menurut Tailor ini ia berbeda pendapat pula dengan Amina wadud bahwa ia tetap menganggap perempuan tidak berhak menyetarakan diri seperti laki-laki. Dan laki-lakilah yang tetap berhak menentukan pilihannya.  
b.    Pengalaman perempuan dan isu-isu
Salah satu yang sudah ada adalah mereka tidak cukup melihat pengalaman dan isu-isu perempuan. Gerakan perempuan menekankan pentingnya laki-laki memahami seberapa jauh dengan dan dengan cara bagaimana perempuan mengalami hidup dengan cara yang berbeda dengan laki-laki. Salah satu tema yang lazim didalam literature tentang perempuan dan peran gender adalah self-esteem perempuan cendrung lebih rendah dari pada laki-laki.[8]
Sejarah perbedaan gender antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan  terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti  kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidak adilan gender di tengah-tengah  masyarakat. Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat  menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya.  Gender dapat menentukan  akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya.
Mernissi telah berusaha membongkar bangunan penafsiran para ulama  klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi patriarkhi. Berkaitan dengan relasi antara lak-laki dan perempuan, Mernissi melihatnya lebih sebagai sebuah konstruksi sosial dari pada sebagai sebuah doktrin agama yang bersifat murni. Dia melihat teks-teks agama yang dipandang otoritatif merupakan sebuah produk pemikiran para ulama, sehingga harus dilihatnya bukan sebagai hasil final dan tidak dapat diganggu gugat. Konsep persamaan anatara laki-laki dan perempuan sebenarnya didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam nash. Seandainya terdapat proses marjinalisasi peran perempuan dari kehidupan publik, atau domestikasi perempuan, sebenarnya merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial. Struktur sosiallah yang telah menciptakan inferioritas perempuan.[9]
Gender sebagai fenomena social budaya diartikan sebagai dampak social yang muncul dalam suatu masyarakat karena adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin. Inilah yang dimaksud gender sebagai fenomena sosial budaya yang melibatkan kita didalamnya, baik itu kita sadari maupun tidak. 

D.      Analisis & Kesimpulan
Sistem sosial  patriakhi menempatkan laki-laki  pada posisi penting dalam keluarga. Dalam sistem sosial termasuk agama, patriarkhi ini memunculkan berbagai bentuk kepercayaan atau ideologi. Misalnya bahwa laki-laki lebih tinggi dan mulia kedudukannya karena itu “lebih berharga” dari pada perempuan.
Disinilah banyak feminis perempuan di dunia Islam ini, seperti, Fatima Mernissi, Aminah Wadud, Mazhar ul-Haq Khan, Assghar Ali Engineer dan Nurul Agustina dan sebagainya di Indonesia, melalui tulisan-tulisan mereka berusaha membongkar berbagai macam pengetahuan normatif yang bias tersebut, tetapi selalu dijadikan orientasi kehidupan beragama, khususnya menyangkut relasi gender (hubungan laki-laki dan perempuan). Pengetahuan keagamaan ini biasanya bersifat patriarkhi. Mereka menyadari bahwa banyak hukum agama (misalnya hukum personal keluarga) praktik keagamaan, praktik sosial dan politik (misalnya soal kepemimpinan sosial politik apalagi keagamaan) disusun berdasarkan asumsi patriarkhi ini. 
Agustina telah menyimpulkan dari tulisan-tulisan yang diungkapkan oleh empat tokoh diatas diantaranya: 
  1. keempat tokoh diatas komitmen terhadap persoalan perempuan dalam islam.
  2. mereka menyadari adanya bias-bias patriarkisme namun menolak anggpan-anggapan bahwa islam adalah patriarkisme itu sendiri.
  3. pentingnya membaca ulang tradisi keislaman terutama yang berkaitan dengan perempuan dan diwariskan pada generasi islam selanjutnya.  
Sistem yang berdasarkan patriarkhi ini pada akhirnya selalu mengasingkan perempuan ke dalam rumah; dengan demikian laki-laki bisa lebih leluasa menguasai kaum perempuan. Sementara itu pengasingan perempuan di rumah menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis, dan selanjutnya tergantung secara psikologis. Dunia publik adalah dunia laki-laki, sementara dunia domestik adalah dunia perempuan. Selanjutnya norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih banyak memberi hak kepada kaum laki-laki dari pada perempuan, justru karena alasan bahwa laki-laki lebih bernilai secara publik daripada perempuan.
Uraian dan pendapat para tokoh diatas dapat dijadiakan sebagai bahan acuan atau penambah wawasan. Kita boleh saja sependapat dengan apa yang mereka katakan dan boleh juga tidak sependapat sesuai dengan perspektif individu masing-masing dan dengan apa yang diyakininya. Jadi apa yang menjadi perdebatan dan pertentangan tentang keberadaan dan kedudukan perempuan jika dilihat dari perkembangan zaman yang semakin post modern ini perlu adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan dalam artian untuk beberapa hal-hal tertentu saja, contohnya dalam hal karir. Jika dalam kehidupan berrumah tangga atau dalam keluarga perempuan tetap berperan sebagaimana layaknya seorang ibu dan sebagaimana layaknya seorang istri.


DAFTAR PUSTAKA

Jones Ricard Nelson, Teori dan Praktek Konseling dan Terapi, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011).

Mutrofin, Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hasan, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, vol. 3 No. 1 Tahun 2013.

Purwanto, Feminisme dan Islam, diterjemahkan dari edisi bahasa inggris: Feminism and Islam, Legal and Literatery perspectives,  (Bandung: Nuansa Cendikia, 2000).

Sanyata Sigid, Gender Aware Therapy: Teknik Konseling Berspektif Gender,  Seminar dan workshop international BK UMY: 2011.

Umi Sumbulah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008).

Wadud Amina, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), xxiv

Zakariya Nur Mukhlish, Kegelisahan Intelektual seorang Feminis, Jurnal Telaah Pemikiran Mernissi tentang Hermeneutika Hadits, Vol.9 No. 2 tahun 2011.


[1]Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), xxiv.
[2] Mutrofin, Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hasan, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, vol. 3 No. 1 Tahun 2013, hlm. 329.
[3]Umi Sumbulah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 15
[4] Umi Sumbulah, Spektrum Gender…… hlm, 8
[5] Purwanto, Feminisme dan Islam, diterjemahkan dari edisi bahasa inggris: Feminism and Islam, Legal and Literatery perspectives,  (Bandung: Nuansa Cendikia, 2000),  hlm. 431
[6]Sigid Sanyata, Gender Aware Therapy: Teknik Konseling Berspektif Gender,  Seminar dan workshop international BK UMY: 2011, hlm 4
[7]Ricard Nelson Jones, Teori dan Praktek Konseling dan Terapi, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011)hlm, 694
[8] Ricard Nelson Jones, Teori dan Praktek Konseling dan Terapi… hlm, 696
[9]Nur Mukhlish Zakariya, Kegelisahan Intelektual seorang Feminis, Jurnal Telaah Pemikiran Mernissi tentang Hermeneutika Hadits, Vol.9 No. 2 tahun 2011, hlm 133.