PENDEKATAN JENDER
DALAM STUDI ISLAM
(TRADISIONALISME
ISLAM DAN FEMINISME karya: Nurul Agustina)
oleh: Sri Kadarsih
A.
Pendahuluan
Istilah feminin bukanlah hal yang
asing yang sering kita dengar, namun banyak yang masih memperdebatkan tentang
kedudukan dan kesetaraan perempuan itu sendiri. Apakah selmanya perempuan harus
selalu berada dibawah pinpinan kaum laki-laki atau bagaimna? Bagaimana jika
perempuan menjadi seorang pemimpin? Dan banyak pertanyak-pertayaan lain yang
bermunculan tentang perspektf perempuan tersebut. Adakah batasan-batasan
tertentu bagi perempuan terhadap laki-laki.
Tulisan ini akan membahas tentang metode
penafsiran-penafsiran tentang perempuan dalam Al-Qur’an yang akan dikemukakan
oleh beberapa tokoh yang kritis terhadap apa-apa saja yang menjadi pembahasan
bagi perempuan. Berbagai macam istilah feminine yang dikategorikan oleh banyak
tokoh, seperti contoh feminis liberal, feminis liberal, dan sebagainya, namun
dalam pembahasan ini membicarakan tentang feminine dalam perspektif islam
tradisional. Persoalan tentang apa yang disebut dengan islam dalam gagasan
tentang perempuan dan Gender masih sangat diperdebatkan.
B.
Deskripsi
Kalangan feminis hampir secara
keseluruhan beranggapan bahwa agama murupakan seksis. Artinya agama tersebut
adalah agama dengan citra Tuhan yang laki-laki sebagai pemimpin atau
superioritas baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sedangkan menurut Djohan
Efendi adalah unsure utama dalam pembentukan kesadaran social dan determinan
atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat. Dengan demikian superioritas
laki-laki mendapat “pembenaran” dari agama. Ketidak adilan yang dianggap agama dlam
pandangan kaum feminis adalah pangkal dari penindasan terhadap perempuan.
Gerakan feminism yang muncul pertama
kali di Barat pada sekitar abad ke 21, telah beberapa kali mengalami pergeseran
paradigma dari ideology sains, ke linguistic, dan terakhir adalah teologis.
Maka sebagai konsekuensinya muncul pertanyaan-pertanyaan kritis semisal,
“apakah agama secara tegas membedakan dan mengukuhkan streotipe peran laki-laki
atas perempuan?” kritik feminism terhadap agama dimulai dari hal-hal yang nyata
seperti kepatuhan mutlak perempuan terhadap laki-laki dan bentuk-bentuk
kongkrit inferioritas atau subordinasi perempuan serta eksklusi permpuan dari
ruanag publik. Permasalahan-permasalahan seperti demikian ditulis oleh beberapa
tokoh yang membahas tentang perempua dan islam terurai sebagai berikut.
1.
Pendekatan neo
modernis: Anima Wadud Muhsin
Dalam penafsirannya Amina wadud
memiliki penafsiran yang cukup jelas dibandingkan yang lainnya dalam hal
metodologinya. Sebagaimana yang ia katakana bahwa tujuan membuat riset adalah
agar interpretasi Al-Qur’an mempunyai makna dalam kehidupan perempuan modern.
Ia membagi penafsiran tersebut menjadi tiga kategori:
a. Tafsir Tradisional
Yakni menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan
minat mufassirnya, hukum, nahwu-sharaf, sejarah, tasawuf, dan lain
sebagainya. Metodologi yang digunakan bersifat atomistic. Artinya penafsiran
dilakukan dengan mengupat ayat perayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk mengelompokkan ayat-ayat sejenis dalam
dalam pokok-pokok yang sistematis.
b.
Tafsir Reaktif
Tafsir yang isinya terutama mengenai reaksi para
pemikir modern terhadap sejumllah besar hambatan yang dialami wanita, yang
dianggap berasal dari Al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang
digunakan sering kali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis tapi tanpa
dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat yang bersangkutan.
c.
Tafsir Holistic
Tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran
mengaitkan dengan berbagai persoalan social, moral, ekonomi, dan politik yang
ada di era modern ini.
Karena kehidupan pada masa dahulu
ketika Rasulullah masih hidup sangat berbeda dengan masa sekarang yang berada
pada siuasi dan kondisi yang berbeda. Maka menurut Amina bahwa dalam memelihara relevansi Al-Qur’an dalam kehidupan
manusia perlu adanya pembaharuan dan pengulangan penafsiran Al-Qur’an secara
terus menerus.
Secara ringkas mtode penafsiran
Al-Qur’an yang digunakan oleh Amina ini melalui lima kategori analisis:
1.
Dalam konteksnya
2.
Dalam konteks pembahasan
topic yang dalam Al-Qur’an
3. Menyangkut bahasa yang sama
dan struktur sintaksis yang digunakan dalam Al-Qur’an
4. Berpegang teguh padaprinsip-prinsip Al-Qur'an
5.
Konteks Al-Qur’an sebagai
pandangan hidup.
Amina menempatkan bentuk maskulin
dan feminis dari bahasa sebagai bagian penting analisisnya. Menurutnya
perspektif yang di miliki sebuah masyarakat mengenai jenis kelamin termasuk
karakter dan peran-peran yang diartibutkan kepada pria dan wanita sangat
dipengaruhi oleh konteks kultural yang dibentuk oleh bahasa.
2.
Urgensi meninjau
ulang tradisi Nabi: Fatima Mernissi
Sebelum mengkritisi hadits yang berkaitan,
Mernissi membahas secara filosofi pandangan kaum muslimin saat ini tentang
sejarah dan masa depan. Keberhasialan barat membangun peradaban dunia modern
mnurutnya adalah suatu transformasi pandangan mereka mengenai waktu. Barat
menguasai waktu dengan menetapkan masa depan sebagai orientasi mereka. Ada
perbedaan antara masyarakat muslim dan barat. Orientasi masyarakat muslim
adalah masa lalu sedangkan masa kini adalah penderita yang merenggut
kebahagiaan. Hal demikian lah yang membuat umat muslim terjajah oleh barat.
Akhirnya kaum muslim pun tersudutkan oleh barat.
Dari latar belakang yang demikian
lah Mernissi mencoba untuk mengupas ketersudutan perempuan setelah wafatnya
Rasulullah. Hal ini disebabkan karena adanya hadits-hadits palsu, dan berkaitan
dengan pemilihan khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW. Merissi
mengelompokkan para pemalsu hadits kedalam dua kelompok: Pertama, mereka
yang sengaja menisbhkan kepada Nabi tentang hal-hal sebenarnya yang tidak
pernah beliau ucapkan atau sampaikan. Ada dua hal yang mendasari in yakni
keuntungan ekonomi dan idelogi. Kedua, mereka yang memalsukan rangkaian
sanadnya. Misalnya ada hadits yang menurut kategori sanadnya sebenarnya lemah
tapi diubah sedemikian rupa sehingga menjadi shahih.
Selanjutnya Mernissi menguraikan
hadits-hadits tentang misoginistik (yang menunjukkak kebencian pada perempuan),
yang terus diabaikan. Salah satu perawi yang menjadi sorotan tajam menurutnya
adalah Abu Hurairoh. Mernissi secara panjang lebar menceritakan latar belakang kehidupan
Abu Hurairoh yang menyebabkan sikapnya antipasti terhadap perempuan. Salah
satunya adalah karena masayarakat islam awal yang masih menyandang bias-bias
patriarkisme, Abu Hurairahjustru tidak mempunyai pekerjaan yang menunjukkan
kejantanannya.
3.
Pembaharuan hukum
personal islam: Asghar Ali Engineer
Asghar Ali merupakan salah seorang
pengkritik kaum muslimin yang menuurutnya mensakralkan syari’ah dengan
menganggap bahwa syari’ah bersifat ilahiyah, dan karenanya tidak dapat diubah.
Sedangkan pada kenyataannya banyak hal-hal yang tidak lagi sesuai dengan
kondisi zaman. Seperti institusi perbudakan, kesaksian perempuan, poligami,
perceraian, dan sebagainya. Karena itu Asghar mengatakan bahwa hukum ilahiyah
ini tidak lagi dapat dipertahankan. Muncullah dua pilihan apakah hrus megabaikan
kitab suci dan menerapkan hukum secular atau membaca ulang dan
menginterpretasikan agar sesuai dengan kondisi zaman sekarang?
Menurut pandangan Asghar
pembentukan syariah itu secara evolutif dan memakan waktu berabad-abad. Menurut
Asghar Ijtihad adalah unsure dinamis dalam islam yang memungkinkan adanya
penafsiran dan penerapan yurispreudensi islam secara kreatif. Namun sayangnya
pintu ijtihad tertutup mulai abad ke 12 M. Dengan demikian jelaslah bahwa
syari’ah berkembang sebagai respon terhadap tantangan bagi masyarakat islam.
Berkaitan dengan soal perempuan
Asghar menganggap meski Al-Qur’an memuliakan perempuan setara dengan laki-laki
namun semangatnya ditundukkan oleh patriarkisme yang telah berurat akar dalam
kehidupan masyarakat, termasuk kaum muslimin. Asghar dalam penjelasannya
mengatakan penafsiran tentang lelaki adalah pemimpin kaum perempuan dalam QS.
An-Nisa (4):34
...........................................................................................................................................
Yang
dianggap sebagai ayat terpenting dalam masalah kesetaraan dan ketidaksetaraan
termasuk ayat kontektual yang mencerminkan
situasi masyarakat Arab pada waktu itu. Dan pekerjaan domestic dianggap sebagai
kewajiban perempuan. Asghar mengatakan bahwa laki-laki adalah Qawwam
berarti pemberi nafkah dalam keluarganya pendapat ini juga dikuatkan oleh
Parvez dalam kontek dan ayat yang sama bahwa laki-laki adalah pemberi nafkah
keluarga. Parvez menambahkan ayat ini sama sekali tidak mengisyaratkan seorang
perempuan harus taat kepada suami karena hubungan suami istri merupakan
persahabatan bukan persaingan da kekuasaan. Parvez juga tidak membenarkan seorang laki-laki
memukul istri apapun kesalahannya.
Penjelasan
diatas menggambarkan tampaknya Asghar ingin mengtakan bahwa dalam khazanah
tafsir khususnya yang berkenaan dengan perempuan sebenarnya ada
pendapat-pendapat yang bersikap empati atau pro perempuan. Atas dasar empati
inilah Asgharmencoba menunjukkan alternative tafsiran atas beberapa ayat
al-Qur’an yang selama ini digunakan untk mengekalkan subordinasi perempuan,
yakni berkaitan dengan masalah perkawianan, perceraian, hak waris, kesaksian
dan hak ekonomi.
4.
Meninjau kembali
warisan sejarah muslim: Mazhar ul-Haq Khan
Menurut Khan bahwa ada faktor
penyebab dekadensi serta stagnasi masyarakat muslim adalah model lembaga
keluarga dan kekerabatan yakni: purdah dan poligami. Purdah adalah
suatu cara pengorganisasian kehidupan, aktivitas, dan fungsi social umat
manusia atas dasar pemilihan “alami” dan dikotomi fungsi dan pern kedua jenis
kelamin. System purdah membagi kehidupan social menjadi dua bagian
bidang yang tidak saling berhubungan: rumah yang dikhususkan bagi perempuan dan
ruang public yang merupakan kewenangan kaum laki-laki.
Perspektif sosiologi-historis, Khan
secara panjang lebar menjelaskan bagaimana lembaga purdah dan poligami
menghambat dan mencegah kaum muslimin dari capaian-capaian yang berarti. Empat
dasar sistim purdah yang menjadi prinsip masyarakat adalah:
a.
Bahwa lelakilah yang
mencari nafkah untuk keluarga untuk melakukan semua pekerjaan yang harus
dilakukan untuk membangun peradaban dan kebudayaan.
b.
Tugas-tugas domestic yang
bertujuan menjadi rumah tangga sebagai sebagai surge dunia adalah tanggung
jawab perempuan. Pelatihan dan pendidikan, karena itu harus ditujukan untuk
mendukung kedua hal tersebut.
c.
Karena kapasitas yang
berbeda sementara orgaisasi keluarga tetap memerlukan pemimpin agar tidak
tenggelam dalam anarki maka hanya pria yang mungkin menjabat sebagai pemimpin
dlam keluarga.
d.
Menjamin dan menjaga agar
tidak terjadi hal-hal yang merusak atau mengacaukan system peradaban itu dengan
pembaharuan yang tidak pada tempatnya.
Menurut Khan sebagian besar
masyarakat muslim dewasa ini masih hidup dalam kondisi yang demikian. Dengan
demikian Khan mengajak untuk menilai kembali budaya secara kritis warisan
kebudayaan islam ini menemukan relevansinya.
Keempat pendapat yang dikemukakan
pada tokoh diatas terdapat kesamaan yakni tentang komitmen mereka terhadap
persoalan perempuan. Mereka menyadari adanya bias-bias patriarkisme dalam islam
namun menolak anggapan bahwa islam adalah patriarkisme itu sendiri. Mereka
menemukan inti ajaran yang berharga dalam islam yang membebaskan tadisi dari
bias-bias tersebut. Hal demikian lah yang dilakukan oeh keempat penulis diatas
yakni berupaya menemukan values cores dalam ajaran agama dan menjadikan
sebagai landasan merekonstruksi tradisi agama.
C.
Review
Amina Wadud memiliki nama panjang Amina Wadud Muhsin. Ia
adalah salah seorang tokoh feminis Muslimah kontroversial yang lahir di
Bethesda, Maryland Amerika Serikat pada 25 September 1952. Ayahnya adalah
seorang penganut Methodist dan ibunya keturunan budak Berber, Arab, dan Afrika
pada kurun ke-8 Masehi. Wadud memeluk Islam pada tahun 1972. Wadud janda dengan lima anak, dua laki-laki dan tiga
perempuan. Yang laki-laki adalah Muhammad dan Khalilullah, dan yang perempuan
adalah Hasna, Sahar, dan Ala (oleh Wadud mereka dianggap lebih dari anak yaitu
saudara-saudara seiman).
Salah satu asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikiran
Wadud adalah bahwa al-Qur‟ân merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil
mendudukkan laki-laki perempuan setara (equal). Oleh karenanya, perintah
atau petunjuk Islam yang termuat dalam al-Qur‟ân mestinya harus diinterpretasikan
dalam konteks historis yang spesifik. Dengan kata lain, situasi
sosio-historis-kultural atau tempat ketika ayat al-Qur‟ân itu diturunkan harus diperhatikan mufassir
ketika hendak menafsirkan al-Qur‟ân. Tidak hanya itu, bahkan latar belakang
yang melingkupi seorang mufassir juga perlu diperhatikan karena sangat
mempengaruhi hasil penafsiran terhadap al-Qur’ân, dan itulah yang nantinya
dielaborasi lebih lanjut oleh Wadud dalam model hermenetikanya, khususnya
ketika berbicara mengenai text dan prior text.
Karya Amina Wadud, merupakan bukti kegelisahan
intelektualnya mengenai ketidakadilan di masyarakat. Maka ia mencoba melakukan
rekonstruksi metodologis tentang bagaimana menafsirkan al Qur’an agar dapat
menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan.
Dalam Umi sumbulah bentuk ketidakadilan melipui beberapa
aspek yakni stereotype, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, beban ganda.
1. Streotipe adalah pelabelan negative pada perempuan, kendati
lebih bernuansa mitos dari pada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek
kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia.
2. Marjinalisasi terhadap kaum perempuan terjadi sebab
multidimensional yang disebabkan oleh banyak hal, bisa berupa banyak kebijakan
pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi
ilmu pengetahuan.
3. Subordinasi merupkan pelabelan negative terhadap perempuan
akan berakibat pada tidak diakuinya potensi kaum perempuan, sehingga ia sulit
mengakses posisi-posisi strategis dan sentral dalam komunikasinya, terutama
yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan dan keputusan.
4. Kekerasan (violence). Kekerasan terhadap perempuan
ini merupakan konsekuensi logis dari stereotype terhadapnya. Perempuan adalah
komunitas yang rentang dan potensial untuk berposisi sebagai korban dari
kesalahan pencitraan terhadap kekerasan yang terjadi akibat bias gender dalam
literature feminisme, seperti pemerkosaan, KDRT, kekerasan seksual, dan lain
sebagainya.
5. Beban ganda. Anggapan bahwa perempuan memiliki sifat
memelihara dan rajin tetapi tidak cocok menjadi kepala keluarga, berakibat
bahwa semua pekerjaan domestic menjadi tanggung jawabnya, karena dikontruksi
sebagai pekerjaan perempuan.
Gender sebagai persoalan social
budaya, lebih berbicara mengenai ketimpangan, yakni masalah ketimpangan antara
hak dan kewajiban. Hal ini bisa menjadi persoaln karena adanya ketimpangan yang
kadang-kadang berasal dari kategori superioritas (laki-laki) dan inferioritas
(perepuan). Ketimpangan hak dan kewajiban dianggap menjadi persoalan karena
merugikan pihak-pihak tertentu. Ketimpangan hak dan kewajiban berkaitan dengan
permasalahan sosial, yang berupa bentuk-bentuk ketidakadilan yang harus
dihilangkan dan diupayakan adanya
equality (keadilan) dan
eguity
(kesetraan).
Menurut Ziba Miss Hossein dalam tema
penafsiran feminis terhadap syari’ah di Iran pasca Khumaini yang telah
diterjemahkan oleh Purwanto membicarakan Isu mengenai wanita sekarang yang
terpisah dari wacana islam modern. Dalam praktiknya Ia melibatkan penafsiran
ulang teks-teks lama dalam mencari solusi atau lebih tepatnya alternative islam
bagi suatu masalah yang sangat modern yang berkaitan dengan status wanita yang
berubah, dan kebutuhan untuk mengakomodasi aspirasi mereka terhadap persamaan
antara kesetaraan dan kesedrajatan hak serta untu menentukan dan mengendalikan
partisipasi mereka yang terus meningkat dalam politik dunia muslim.
Asal usul mereka berasal dari mereka
yang beragam dan latar belakang budaya mereka yang berbeda, namun apa yang
sama-sama dimiliki leh penafsiran-penafsira ulang adalah sikap menentang dan
membela diri atau apologetik. Bersikap menentang karena agenda mereka adalah
untuk menangkal arus perkembangan nilai-nilai gaya barat yang didukung oleh
banyak Negara. Bersikap apologenik sebab mereka mencoba untuk menjelaskan
bias-bias jender yang secara sembrono ditampilkan dengan merujuk kembali
teks-eks syri’ah. Menurut Ziba Miss Hossein bahwa penafsiran ulang tentang feminis
terhadap syari’ah adalah sesuatu yang mugkin dapat dilakukan bahkan ia tak rela
ketika islam idak lagi menjadi bagian dari wacana oposional dalam politik
nasional.
Pendapat yang telah ditafsirkan oleh
Amina wadud juga di setujui oleh beberapa
tokoh lain seperti apa yang diungkapkan oleh Ziba Miss Hossein tentang sumber
pembahasan feminine adalah berasal dari
adanya perbedaan budaya yang ada. Disamping itu seiring dengan perkembangan
zaman yang semakin modern mereka sama-sama berpendapat bahwa perlu adanya
penafsiran ulang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan perempuan. Karena
rujukan pada masa lalu tidak bisa diterapkan untuk pada zaman sekarang.
Pengulangan penafsiran dalam koteks bukan merubah ayat-ayat Al-Qur’an namun
tentang kapasitas pemahaman ayat sesuai dengan perkembangan.
Pendapat yang dikemukakan oleh
Asghar juga hampir sama dengan pendapat
Ziba Miss Hossein bahwa penafsiran ulang tentang feminis terhadap syari’ah.
Asghar mengatakan bahwa teori hukum syriah yang bersifat ilahiyah tidak dapat
lagi dipertahankan. Artinya penfsiran hukum Syari’ah tentang perempuan
berkembang sebagai respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat
islam. Meskipun secara normtif Asghar menyetujui penafsiran ayat tentang lelaki
adalah pemimpin kaum perempuan namun ia mencoba menafsirkan ayat-ayat lain
tentang perempuan dan ada sikap empati dan pro terhadap perempuan. Jadi
penafsirannya berdasar atas sikap empatinya terhadap kaum perempuan.
Baumgardner
dan Ricards mendefiniskan feminisme sebagai gerakan keadilan sosial untuk
kesetaraan gender dan kebebasan manusia.
a. Penindasan
terhadap perempuan
Hal yang
paling sentral bagi banyak kaum feminis adalah ide bahwa laki-laki telah
memanfaatkan posisi kekuasaan dan pengaruh mereka untuk menindas perempuan baik
didalam maupun diluar rumah. Taylor dalam Ricard telah memberikan versi
modifikasi untuk posisi ini pada saat mengatakan: “Jadi meskipun ada pengakuan
bahwa laki-laki telah menjdi korban budaya yang seksis dan kekuatan pola-pola
sosialisasinya, laki-lakilah yang masih tetap menentukan keseimbangan kekuasaan
dan menerima bagian yang tidak proporsional dari reward dan provilage sosial”.
Laki-laki ada didalam dan perempuan ada diluar. Menurut
Tailor ini ia berbeda pendapat pula dengan Amina wadud bahwa ia tetap
menganggap perempuan tidak berhak menyetarakan diri seperti laki-laki. Dan
laki-lakilah yang tetap berhak menentukan pilihannya.
b. Pengalaman
perempuan dan isu-isu
Salah
satu yang sudah ada adalah mereka tidak cukup melihat pengalaman dan isu-isu
perempuan. Gerakan perempuan menekankan pentingnya laki-laki memahami seberapa
jauh dengan dan dengan cara bagaimana perempuan mengalami hidup dengan cara
yang berbeda dengan laki-laki. Salah satu tema yang lazim didalam literature
tentang perempuan dan peran gender adalah self-esteem perempuan cendrung
lebih rendah dari pada laki-laki.
Sejarah perbedaan gender antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan
terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa
sebab, seperti kondisi sosial budaya,
kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini,
perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat
kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah
sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidak adilan gender di
tengah-tengah masyarakat. Gender
memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan
ditempuhnya. Gender dapat
menentukan akses seseorang terhadap
pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya.
Mernissi telah berusaha membongkar bangunan
penafsiran para ulama klasik, yang
menurutnya menunjukkan dominasi patriarkhi. Berkaitan
dengan relasi antara lak-laki dan perempuan, Mernissi melihatnya lebih sebagai
sebuah konstruksi sosial dari pada sebagai sebuah doktrin agama yang bersifat
murni. Dia melihat teks-teks agama yang dipandang otoritatif merupakan sebuah produk
pemikiran para ulama, sehingga harus dilihatnya bukan sebagai hasil final dan
tidak dapat diganggu gugat. Konsep persamaan anatara laki-laki dan perempuan
sebenarnya didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam nash. Seandainya
terdapat proses marjinalisasi peran perempuan dari kehidupan publik, atau
domestikasi perempuan, sebenarnya merupakan hasil dari sebuah konstruksi
sosial. Struktur sosiallah yang telah menciptakan inferioritas perempuan.
Gender sebagai fenomena social
budaya diartikan sebagai dampak social yang muncul dalam suatu masyarakat
karena adanya perbedaan atas dasar jenis kelamin. Inilah yang dimaksud gender
sebagai fenomena sosial budaya yang melibatkan kita didalamnya, baik itu kita
sadari maupun tidak.
D.
Analisis &
Kesimpulan
Sistem sosial
patriakhi menempatkan laki-laki
pada posisi penting dalam keluarga. Dalam sistem sosial termasuk agama,
patriarkhi ini memunculkan berbagai bentuk kepercayaan atau ideologi. Misalnya bahwa
laki-laki lebih tinggi dan mulia kedudukannya karena itu “lebih berharga” dari pada
perempuan.
Disinilah banyak feminis perempuan di dunia
Islam ini, seperti, Fatima Mernissi, Aminah Wadud, Mazhar ul-Haq Khan, Assghar
Ali Engineer dan Nurul Agustina dan sebagainya di Indonesia, melalui
tulisan-tulisan mereka berusaha membongkar berbagai macam pengetahuan normatif
yang bias tersebut, tetapi selalu dijadikan orientasi kehidupan beragama,
khususnya menyangkut relasi gender (hubungan laki-laki dan perempuan). Pengetahuan keagamaan ini biasanya bersifat
patriarkhi. Mereka menyadari bahwa banyak hukum agama (misalnya hukum personal
keluarga) praktik keagamaan, praktik sosial dan politik (misalnya soal
kepemimpinan sosial politik apalagi keagamaan) disusun berdasarkan asumsi
patriarkhi ini.
Agustina telah menyimpulkan dari tulisan-tulisan yang diungkapkan oleh empat tokoh diatas diantaranya:
- keempat tokoh diatas komitmen terhadap persoalan perempuan dalam islam.
- mereka menyadari adanya bias-bias patriarkisme namun menolak anggpan-anggapan bahwa islam adalah patriarkisme itu sendiri.
- pentingnya membaca ulang tradisi keislaman terutama yang berkaitan dengan perempuan dan diwariskan pada generasi islam selanjutnya.
Sistem yang berdasarkan patriarkhi ini pada
akhirnya selalu mengasingkan perempuan ke dalam rumah; dengan demikian
laki-laki bisa lebih leluasa menguasai kaum perempuan. Sementara itu
pengasingan perempuan di rumah menjadikan perempuan tidak mandiri secara
ekonomis, dan selanjutnya tergantung secara psikologis. Dunia publik adalah
dunia laki-laki, sementara dunia domestik adalah dunia perempuan. Selanjutnya
norma-norma moral, sosial dan hukum pun lebih banyak memberi hak kepada kaum
laki-laki dari pada perempuan, justru karena alasan bahwa laki-laki lebih
bernilai secara publik daripada perempuan.
Uraian dan pendapat para tokoh diatas dapat
dijadiakan sebagai bahan acuan atau penambah wawasan. Kita boleh saja
sependapat dengan apa yang mereka katakan dan boleh juga tidak sependapat
sesuai dengan perspektif individu masing-masing dan dengan apa yang diyakininya.
Jadi apa yang menjadi perdebatan dan pertentangan tentang keberadaan dan
kedudukan perempuan jika dilihat dari perkembangan zaman yang semakin post
modern ini perlu adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan
dalam artian untuk beberapa hal-hal tertentu saja, contohnya dalam hal karir.
Jika dalam kehidupan berrumah tangga atau dalam keluarga perempuan tetap
berperan sebagaimana layaknya seorang ibu dan sebagaimana layaknya seorang
istri.
DAFTAR PUSTAKA